This is default featured post 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured post 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured post 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured post 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured post 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Jumat, 21 Oktober 2011

MENGINTEGRASIKAN CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY (CSR) DENGAN PERENCANAAN KOTA

PENGALAMAN KOTA SURAKARTA

I.    Tidak seimbangnya kapasitas keuangan daerah untuk memenuhi perencanaan masyarakat
Proses perencanaan pembangunan yang partisiptif di Kota Surakarta sudah dimulai sejak Tahun 2001 dengan muskelbang (Baca : musrenbang). Tanggapan atas di berlakukannya system perencanaan tersebut  pada awalnya juga beragam, di satu sisi pemerintah / birokrasi terasa lebih terbebani dengan proses yang lebih panjang dalam mengusulkan program, sedangkan masyarakat merespon dengan harapan penuh akan terbukanya keran partisipasi dan masuknya usulan mereka dalam pembangunan kota.

Perubahan system perencanaan dari teknokratik ke partisipatif  membawa konsekuensi banyaknya usulan kegiatan yang diajukan masyarakat, usulan tersebut mengandung implikasi pada pembiayaan yang harus difasilitasi. Disisi lain kapasitas keuangan daerah tidak memungkinkan semua usulan bisa dibiayai,  meskipun pemerintah kota Surakarta sejak tahun 2004 sudah menaikkan alokasi Dana pembangunan kalurahan (DPK) dari 2,5 Milyar ke 10 Milyar setiap tahunnya atau rata-rata setiap kalurahan mendapatkan + 200 juta/tahun.  Jumlah tersebut masih belum sebanding dengan gagasan masyarakat, dimana rata-rata usulan tiap kalurahan bisa mencapai 3-4 kali lipat dari dana yang tersedia. Ketidaksesuain dana yang tersedia dengan perencanaan yang diusulkan, berimbas pada penggunaan DPK menjadi kegiatan parsial dan tidak berkelanjutan serta tidak mampu menyelesaikan masalah yang terjadi. Banyak kalurahan mengambil pilihan untuk membagi rata (BAGITO : Bagi Roto) dimasing-masing RT/RW, hal ini berujung pada penggunaan dana lebih banyak digunakan untuk renovasi yang hanya menyelesaikan masalah sesaat saja atau mempercantik lingkungan. Situasi ini menjadi salah satu yang memberikan dampak pada menurunnya proses ketertarikan masyarakat dalam berpartisipasi dalam perencanan, khususnya kelompok miskin.

II.    Inovasi pemerintah Kota Surakarta dalam mencari dukungan pendanaan
Setiap tahun pemerintah Kota Surakarta melakukan penyusunan Rancangan Kerja Pembangunan Daerah (RKPD), dimana RKPD merupakan hasil akhir dari berbagai dokumen perencanaan yang ada di tingkat kota diantaranya yaitu (1) RPJMD (2) Rumusan hasil Musrenbangkot (3) RTRW dan (4) SPKD. Dokumen RKPD disusun dalam kondisi ideal, tetapi karena factor tidak seimbangnya  kapasitas keuangan daerah dan pengeluaran menjadi perencanaan tidak bisa berjalan secara ideal. Perlu upaya terobosan penggalian sumber dana lain yang dapat menopang RKPD bisa berjalan secara ideal sesuai dengan perencanaan.









Disisi lain dalam kenyataannya di lapangan, cukup banyak dana-dana pembangunan untuk tujuan kesejahteraan masyarakat baik yang dilakukan NGO, ORMAS, dan perusahaan dengan CSR. Tetapi sulit mengukur efektifitas dari program-program yang dilakukan non pemerintah tersebut, beberapa faktor kelemahan tersebut adalah :
•    Tidak terintegrasi dengan perencanaan kota, sehingga seringkali salah sasaran.
•    Tidak mampu mengukur dampak bantuan.
•    Terjadi tumpang tindih program dalam satu lokasi dengan yang dilakukan pemerintah.

Beberapa persoalan diatas menjadi landasan dasar pemerintah Kota Surakarta untuk melakukan sinergi dan mengintegrasikan program CSR  yang dilakukan perusahaan/lembaga/instansi     kedalam Rancangan kerja Pemerintah daerah (RKPD) Kota Surakarta . Untuk mempermudah sinergitas tersebut dibentuk Tim CSR yang terdiri dari perwakilan  birokrasi, Perusahaan/lembaga dan  TKPKD sebagai wadah koordinasi dan dikukuhkan dengan SK Walikota.

Adapun mekanisme kerja yang dibangun dalam membangun sinergitas perencanaan tersebut adalah sebagai berikut :
•    Dokumen  RKPD Sebagai acuan membangun kerjasama dengan CSR.
•    Komponen yang belum terbiayakan di RKPD akan ditawarkan kerjasama dengan CSR/Pihak lain
•    RKPD  yang tidak bisa dibiayai dari dari APBD/APBN  diserahkan ke Tim CSR  untuk dikoordinasikan dengan anggotanya dan menjadi tawaran  kerjasama dalam pembiayaannya.
•    TIM CSR akan bekerja untuk mengkoordinasikan usulan tersebut dengan anggotanya guna membangun komitmen kerjasama yang jelas pada tahun anggaran berikutnya.
•    Pelaksanaan kegiatan penggunaan dana CSR bisa dilaksanakan melaui rekanan atau SKPD terkait.
•    Rekanan atau SKPD terkait membuat laporan akhir hasil pengerjaan yang dilakukan kepada Tim CSR.
III.    Hambatan dalam membangun Sinergitas dengan CSR
1.    Usulan kegiatan menyesuaikan dengan jadwal Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) dari masing-masing perusahaan. Hal ini sangat terkait dengan keputusan penggunaan dana CSR dan Lokasi sasaran ditentukan oleh RUPS.
2.    Sosialisasi manfaat dari proses sinergitas dokumen, belum semua perusahaan tertarik untuk dikerjasamakan dengan pemerintah kota. Perusahaan masih menjalankan sendiri penggunaan dana CSR sesuai dengan keinginan perusahaan.
3.    Perusahaan yang menggulirkan dana CSR tidak mau digabung dengan perusahaan lain dalam satu lokasi yang sama, meskipun jumlah dana yang digulirkan tidak mencukupi.
4.    Pemerintah Kota harus menyesuaikan dengan keinginan Perusahaan dalam penggunaan dana CSR, sehingga tidak semua dana CSR bisa dipakai untuk upaya penanggulangan kemiskinan.

IV.    Rekomendasi merangkai system perencanan dan pendanaan yang berkelanjutan
Ide dasar mengintegrasikan dokumen perencanaan dengan sumber-sumber pendanaan diluar APBD/APBN khususnya CSR, akan memberikan impact sebuah proses perencanaan yang ideal akan tercapai. Tetapi melihat kepentingan dari institusi yang menggulirkan CSR, bisa dipastikan memiliki kepentingan juga terhadap target segment yang diharapkan akan menjadi konsumen mereka juga (sarana promosi). Sehingga perlu dirumuskan sebuah perencanaan yang berkelanjutan (baca: bukan tahunan) sehingga penggulir dana CSR juga bisa mendapatkan gambaran utuh untuk pendanaan yang bersifat berkelanjutan. Hal ini juga menyangkut keterbatasan dana CSR yang digulirkan tiap tahunnya di setiap institusi.

Untuk kepentingan tersebut bisa ditempuh dengan berbagai cara diantaranya adalah :
1.    Mendorong masyarakat menyusun perencanaan strategis untuk pengembangan lingkungan dan kawasan kelurahan untuk jangka menengah (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Kelurahan/RPJMKel), dimana masyarakat bisa menyusun program unggulan dan skala prioritas untuk penanggulangan kemiskinan. Sistem perencanaan tersebut akan mempermudah masyarakat mendapat gambaran sumber pendanaan diluar dana pembangunan Kalurahan (DPK) dan salah satunya CSR.
2.    Program-program unggulan masing-masing kalurahan akan mempermudah Tim CSR untuk mengkaji kemungkinan pembiayaannya untuk dihubungkan CSR dikaitkan dengan keinginan perusahaan selain dari dokumen RKPD.

Ide integrasi perencanaan ini di kota Surakarta baru diujicobakan pada tahun ini. Respon positif diberikan institusi penggulir CSR dan sudah banyak lembaga menyatakan komitmen kerjasama untuk dilaksanakan pada tahun 2012 baik untuk (1) bidang kesehatan, (2) bidang lingkungan (3) bidang Pendidikan (4) bidang ekonomi kerakyatan dan semuanya memiliki tujuan untuk kesejahteraan masyarakat. SEMOGA TERCAPAI…………..


Oleh : Zakaria

Sabtu, 24 September 2011

Kajian Kebijakan RPJMKel

Kelurahan merupakan wilayah pemerintahan struktural paling kecil ditingkat kabupaten/kota yang dipimpin oleh birokrasi atau pegawai negeri sipil yang berada dilingkup wilayah kerja kecamatan. Dalam peta pemerintahan Indonesia, manajemen pemerintahan terbagi atas 2 fokus yang mendasarkan pada beban kerjanya yakni secara kewilayahan dan isu. Atau lebih mudah lagi Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) dibuat atas berbagai pertimbangan.

Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2003 Tentang Pedoman Organisasi Perangkat Daerah pasal 2 ayat 1 ada 5 hal yakni pertama, kewenangan pemerintah yang dimiliki oleh Daerah; kedua, karakteristik, potensi, dan kebutuhan Daerah; ketiga, kemampuan keuangan Daerah; keempat, ketersediaan sumber daya aparatur; dan yang terakhir pengembangan pola kerja sama antar Daerah dan/atau dengan pihak ketiga. Kebijakan inilah yang menjadi panduan bagi pemerintah daerah untuk membuat SKPD.

Untuk menjalankan programnya, mereka (SKPD) mendasarkan pada Rencana Strategis/Renstra 5 tahunan dengan Rencana Kerja/Renja sebagai jabaran tahunannya. Membuat Renstra harus memperhatikan RPJP Daerah serta RPJM Daerah. Padahal bila melihat struktur pemerintahan diatasnya, institusi yang memiliki kewenangan kewilayahan seperti propinsi dan kabupaten/kota selalu mendasarkan program pada RPJP dan RPJM. Namun untuk kecamatan dan kelurahan tidak demikian karena masuk kategori SKPD.

Sementara sesuai Peraturan Pemerintah No 72 Tahun 2005 Tentang Desa Bab VI Tentang Perencanaan Pembangunan Desa Pasal 63 ayat 1 disebutkan Dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan desa disusun perencanaan pembangungan desa sebagai satu kesatuan dalam sistem perencanaan pembangunan daerah kabupaten/Kota. Artinya ada ketidaksesuaian pendekatan yang dilakukan pemerintah (pusat) kepada kelurahan dan desa.
Komunitas pinggiran perlu diakomodir dalam perencanaan kelurahan

Padahal idealnya institusi yang menangani kewilayahan memang lebih pas menyusun RPJM dibandingkan dengan hanya Renstra. Sebab cakupan Renstra dengan RPJM terdapat perbedaan signifikan. Karena Renstra lebih fokus pada pembedahan internal sementara RPJM mensyaratkan dinamisasi yang lebih komplek sehingga outputnya lebih memberi peluang komunitas lain terangkul didalamnya. Alasan lain adalah tidak konsistennya sistem pemerintahan yang dibangun.

Bila pada level lebih atas, institusi kewilayahan menyusun RPJM (seperti propinsi dan kabupaten/kota) namun di institusi bawah menyusun Renstra. Hal ini berdampak pada kebijakan yang dihasilkan tidak dapat berjalan dengan baik. Sebut saja penanganan kemiskinan, Jamkesmas, BOS dan beberapa kebijakan lain yang ditingkat bawah implementasinya tidak berjalan dengan optimal. Karena pemetaan warga miskin di level kelurahan sering terabaikan dengan dalih ditangani SKPD bersangkutan. Padahal pelibatan komunitas miskin itu cukup penting masuk dalam RPJM.

Dengan argumentasi diatas, sebaiknya pemerintah perlu merevisi kebijakan PP No 73 Tahun 2005 Tentang Kelurahan terutama sistem perencanaannya. Sementara dalam PP No 19 Tahun 2008 Tentang Kecamatan tidak ada mandat secara khusus yang berkaitan dengan perencanaan kecuali pasal 16 huruf a yang menyebutkan “mendorong partisipasi masyarakat untuk ikut serta dalam perencanaan pembangunan lingkup kecamatan dalam forum musyawarah perencanaan pembangunan di desa/kelurahan dan kecamatan”.

Kamis, 22 September 2011

Pentingnya Rencana Pembangunan Jangka Menengah Kelurahan (RPJMKel)

Ribuan usulan selalu muncul tiap tahunnya di Musrenbang. Dalam arti kata, pemerintah kota sebenarnya tidak akan pernah kekurangan bahan dalam menyusun rencana strategis mereka. Lalu mengapa dalam setiap tahunnya selalu muncul kekecewaan bahwa banyak usulan yang tidak terakomodir.  Hasil musrenbang  seringkali tidak singkron dengan Rencana Kerja SKPD Kota. Persoalan kalender  perencanaan yang tidak mempunyai titik temu antara SKPD dan Musrenbang Kelurahan menjadi kambing hitam pertama, selain memang ada factor penting lain yaitu “Ego Sektoral” yang sering diterjemahkan sebagai terserah maunya SKPD.

Salah satu kantor kelurahan di Solo
Sedangkan proyek yang mampu dilaksanakan kelurahan melalui Dana Pembangunan Kelurahan juga dianggap tidak memberi dampak atau perubahan strategis di Kelurahan. Alasannya adalah budget yang kecil  sehingga skala proyek pun hanya  kelas “cemen” atau “teri”. Dokumen musrenbang tidaklah menghasilkan rencana program / intervensi yang startegis dalam skala kelurahan maupun kota. Lagi-lagi soal budget yang terbatas dan batas kewenangan  menjadi kendala dalam  menentukan proyek  startegis kelurahan.


Bagaimana jika kelurahan mempunyai rencana strategis jangka menengah, sehingga SKPD maupun kelompok kepentingan yang lain bisa memotret program strategis kelurahan?  Bukannya mengada-ada, namun jika kelurahan mampu menggambarkan rencana strategis mereka dalam lima tahun kedepan, maka SKPD bisa merencanakan pembangunan mereka disesuaikan dengan urgensi masalah dalam kelurahan. SKPD tidak perlu bersusah payah “belanja masalah” tiap tahun, tinggal melihat prioritas wilayah selama 5 tahun.

Musrenbang kelurahan cukup memfokuskan diri pada  rencana program yang bisa didanai melalui DPK_skala kecil.  Sementara RPJMKel akan  membantu kelurahan membidik proyek pembangunan strategis jangka menengah dan mempunyai dampak yang signifikan pada skala kelurahan dan kota.
Kendala yang saat ini ada hanyalah persoalan regulasi yang belum ada. Namun pengalaman adanya RPJMDes yang berlaku di wilayah kabupaten menjadi preseden yang baik bagi advokasi kebijakan ini.

Yang paling urjen adalah adanya kerelaan dan niatan untuk menghapus “ego” , jika tidak maka akan muncul  banyak alasan untuk mengganjal adanya RPJMKel. Misalkan, bisa saja rencana-rencana strategis dalam RPJMKel dianggap tidak valid untuk masuk dalam Rencana Kerja SKPKD karena nomenklatur yang tidak sesuai atau tidak masuk dalam TUPOKSI (baca: Tugas Pokok dan Fungsi). Akhirnya, kita hanya bisa mengatakan, Kota Solo selalu siap dengan inovasi dan inisiatif yang lahir dari proses dialog secara demokratis. Selamat berdemokrasi.....

Oleh : Ahmad Rifai

Selasa, 20 September 2011

Download SK Walikota Solo Tentang Jumlah Penduduk Miskin Solo

Berikut adalah Surat Keputusan Walikota Solo No 470 / 81- C / 1/ 2010 Tentang Penetapan Jumlah Penduduk Miskin Tahun 2010. Silahkan klik : SK Penetapan GAKIN.
Dan berikut lampirannya : Lampiran SK Penetapan Gakin Solo

YAYASAN JERAMI

Organizational Profile

Yayasan JERAMI or JERAMI Foundation was established on April 26th, 2011 under the registration number -63- , Notary Sunarto, SH.  in Surakarta.  The establishment is based on idea to aggregate local and national initiative on poverty reduction. Nationally, The Strategic Alliance for Poverty Alleviation (SAPA) promote the establishment of local strategy for poverty alleviation, which well known as SPKD. In Surakarta, the initiative was received in rather skeptic situation since there were not many stakeholders who really understand and involve in the process. The Local Committee for Poverty Alleviation (TKPKD) which was formed on January 2009 to encourage the establishment of local strategy could not function since expertise and supports from the main stakeholders were insufficient.
In the end of 2010, TKPKD conducted an evaluation toward the effectiveness of local coordination in the poverty reduction efforts. The meeting generated several notes toward better TKPKD works: (1) Database and information supports are needed.  There has been local capacity such as Solo Kota Kita, PNPM, as well as government to work together creating city database system.  (2) The TKPKD need to strengthen organizational capacity to better serve the need of each working groups. The secretariat needs to create clear mechanism of coordination and organsational function.
    By the beginning of 2011, the SAPA networks met in Solo to discuss about local aggregation on poverty reduction efforts. One of the issues discussed was the information and database support.  Lack of local poverty data and information has generated confusion on poverty reduction in local level. The target areas are often overlapped as well as beneficiaries.
    Based on that problem, some of members of TKPKD established the JERAMI which has three main missions:
-    Assist local committee for better aggregated poverty reduction
-    Capacity building on database and information gathering  and management
-    City level advocacy for better poverty reduction policy.

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites